BABAD SIDOLEREN

BABAD SIDOLEREN

Pangeran Jayakusuma putra Prabu Brawijaya dari Majapahit akibat kesalahannya diusir dari negerinya. Maka bersama adindanya Ni Galuhwati pergi meninggalkan Majapahit menuju kearah barat.

Setelah berjalan berhari-hari, mereka menaiki bukit menuruni lembah, melewati hutan belantara, menyeberangi sungai bertemu binatang buas bermacam-macam, namun semuanya itu dapat dilaluinya dengan baik. Maka akhirnya sampailah ke daerah Bagelen, yang berbatasan dengan tanah Sunda.
Apabila lelah maka mereka beristirahatlah, apabila lapar mereka membeli makanan dari pendududk yang dilewatinya, apabila  melewati hutan , maka buah-buahanlah yang mereka makan, kadang bertemu rusa ataupun unggas, mereka tagkap dan mereka makan setelah dibakar.
Di suatu daerah mereka berhenti, saaat itu Ni Galuhwati yang masih berusia anak-anak meminta minum. Pangeran Jayakusuma mencari sumber air minum namun tiada bertemu, rumah pendudukpun jauh. Kemudian diturunilah lembah dan di sana dengan kesaktiannya dicarilah mata air baru. Keris pusaka Majapahit yang bernama Ki Panubiru yang bersinar kebiru-biruan, dihujamkannya ke dalam tanah. Lalu dengan mantra-mantra dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa dengan sangat, dicabut kembalilah keris Ki Panubiru yang bersinar kebiru-biruan itu. Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa memancarlah air dari bekas keris terhujam itu. Maka mereka dapat minum sepuas-puasnya, bahkan mata air itu akhirnya menjadi sebuah sendang atu belik. Dinamailah BANYUURIP, karena BANYU = air dan URIP = hidup, air yang menjadi sumber kehidupan.
Di Banyuurip mereka akhirnya menetap dan berdatanganlah orang-orang untuk turut menetap di daerah Banyuurip itu, sehingga makmurlah daerah Banyuurip. Adapaun Pangeran Jayakesuma dijadikan penghulu daerah Banyuurip.
Setelah bertahun-tahun menetap di Banyuurip dan Ni Galuhwati bertambah besar sampai menginjak usia dewasa dan sudah sepantasnya untuk dinikahkan. Akhinya ketemulah jodohnya yaitu seorang pemuda bernama Raden Hadiwijoyo yang ahli bertapa, saat itu masih beragama Hindhu dan Budha, santri atau murid dari sebuah pertapaan yang disebut Manguyu. Maka Raden Hadiwijoyo pun dikenal dengan sebutan Ki Manguyu.
Setelah menikah, kedua mempelai itu menetap di Banyuurip, sempat pula saat Ni Galuhwati hamil, Ki Manguyu membuat sebuah mata air yang dikenal dengan nama Sumur Pinatah, karena di sana ki Manguyu menatah gambar Raden Panji Kudawanengpati dan Dewi Galuh Candrakirana. Sampai saat ini sumber atau beji itu masih dipergunakan orang.

Alkisah, Pangeran Joyokesuma yang mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pohon jati yang growing ( berlubang) , disebut Jatiprobo  karena mengeluarkan sinar. Setelah beberapa waktu kemudian terpikir kembali akan masa lalunya selagi menjadi pangeran di negeri Majapahit. Tatkala itu sang Pangeran mempunyai kekasih yaitu putranya Prabu Brawijaya ke-5 (Pangeran Jayakesuma adalah adik Prabu Brawijaya ke-5 dari seorang selir Prabu Brawijaya ke-2 ayahnya), yang bernama Dewi Retna Marlangen. Namun melihat gelagat itu sang Prabu Brawijaya ke-5 segera  memberikan putrinya itu kepada Adipati Lowano ( sekarang kecamatan Loano di kabupaten Purworejo) yang bernama Raden Adipati Anden yang setelah usia lanjut disebut Betara Lowano. Ayahandanya bernama Ki Buyut Singgela, yaitu nama kadipaten Lowano yang disebut juga kadipaten Singgelapura.
Terbersitlah keinginan Pangeran Jayakesuma untuk mengunjungi Dewi Retna Marlangen yang berada di Kadipaten Lowano.
Maka dengan tekad bulat Pangeran Jayakesuma berangkat ke Lowano untuk mengunjungi kekasih lamanya itu. Keberangkatannya itu dilakukan nya dengan diam-diam, tak seorangpun diberitahu, juga sdindanya Ni Galuhwati atau Sekarwulan beserta ki Manguyu suaminya.
Kuatir akan ketahuan orang Banyuuurip , maka perjalanan Sang Pangeran tidak melalui jalan lumrah, namun membuat jalan sendirinmenuju arah utara dengan berpedoman pada matahari terbit. Seringkali sang Pangeran menengok ke belakang, seolah takut diikuti orang Banyuurip.
Disuatu tempat yang cukup jauh dari Banyuurip (kira-kira 5 atau 6 kilometer) sang Pangeran berhenti untuk beristirahat yang kebetulan di tempat itu ada sendang kecil (belik). Seolah sendang itu disediakan untuk sang Pangeran minum maupun mandi, cumepak (sudah siap tersedia), dalam Bahasa Jawa disebut MIRANTENI (asal kata dasar “piranti” = perkakas untk bekerja). Kemudian sang Pangeran berpesan kepada penduduk yang berada disekitar belik atau sendang itu agar dusun itu diberinama Miranteni, karena penduduk melihat sorot wibawa Sang Pangeran yang begitu kuat , maka mereka menanggapi dan menyanggupi pesan beliau. Jadilah dusun itu bernama MIRANTENI. Lama kelamaan penduduk mempermudah penyebutannya menjadi MRANTI. Hingga saat ini daerah itu disebut Mranti, sekarang Kelurahan Mranti dibawah Kecamatan Purworejo.
Setelah cukup beristirahat di sama, lalu sang Pangeran meneruskan kembali perjalanannya, namun agak menyimpang kea rah barat daya. Sampailah di suatu tempat yang agak cekung dalam Bahasa Jawa disebut Legok, berjalan atau berkeliaran menuju suatu tempat dalam Bahasa Jawa disebut saba (sobo) dan memang juga ternyata banyak penduduk yang berkeliaran disekitar tempat legok itu untuk mencari makanan dan lain-lain. Sang Pangeran bertanya kepada salah seorang penduduk yang sobo itu, apa nama dusun itu. Orang itu hanya menjawab tidak tahu, karena memang tidak ada namanya. Lalu Sang Pangeran menghentikan beberapa orang yang sobo ke tempat itu  dan dengan berwibawa beliau berpesan agar dusun itu diberi nama LEGOKSOBO, yang karena agak kurang enak didengar maka kata itu berubah menjadi LUGOSOBO. Maka jadilah Dusun Lugosobo dan setelah ramai akhirnya menjadi sebuah desa. Sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Lugosobo.
Sang Pangeran merasa perjalanannya itu agak  menyimpang, bukannya kea rah utara namun jadi kea rah barat. Maka setelah agak jauh beliau berhenti untuk sejenak untuk memikirkan arah yang benar, hatinya agak galau. Mereka arahnya berbeda dalam Bahasa Jawa sulaya atau padu, bertentangan rasa, lalu beliau berhenti sejenak untuk mengheningkan cipta, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk arah yang benar. Tempat Sang Pangeran galau itu kemudian oleh beliau dipesankan kepada penduduk sekitarnya agar tempat itu disebut dusun PADUROSO dan sampai sekarang nama dusun itu menjadi Desa Paduroso yang ada di wilayah kecamatan Purworejo.
Setelah bersemedi sejenak akhirnya ada petunjuk agar perjalanan mengarah ke sebelah kanan, yaitu arah utara. Lalu dengan segera beliau memutar arah menuju kea rah utara, berjalanlah beliau dengan penuh rasa percaya diri. Tempat dimana beliau memutar arah itu disebut Dusun Pantok artinya ditempat itu sebagai batas ( Bahasa Jawanya Pantok) beliau menabrak batas ( jalan buntu).
Akhirnya sampailah di sebuah tempat yang di tempat tersebut tumbuh pohon gintung yang sangat besar, tingginya kira-kira 30 meteran, batngnya besar sekali (pohon gintung bisa tumbuh mencapai tinggi 70 meteran). Sang Pangeran sangat kagum melihatnya, lalu bertanya kepada penduduk deas apa nama dusun itu, mereka tidak tahu. Maka Sang Pangeran berpesan agar dusun itu dinamakan Dusun Gintungan , dan kemudian menjadi Desa Gintungan lestari sampai sekarang.
Setelah malam itu beristirahat di bawah pohon gintung, pada keesokan harinya sang Pangeran berjalan kembali meneruskan perjalanannya ke Singgelopuro. Sampailah beliau di suatu tempat yang luas, yang ditanami pohon kacang tanah atau di Jawa disebut Kacang Brol, sebab kalua dipanen tinggal mencabut batang daunnya dan BROL kacang-kacang yang terbenam dalam tanah tercabut semuanya. Dikebun kacang itu beliau berhenti sejenak melihat beberapa petani  yang sedang mengusir beberapa sapi yang mencuri  dan  memakan daun-daun kacang yang ijo royo-royo, tanaman yang masih muda karena daunnya masih  muda karena daunnya masih banyak (ngerembuyung) dan hijau segar. Tentu saja para petani itu marah, dan para sapi itu diusirnya sambal dipukuli oleh rantig-ranting pohon, berlarianlah sapi-sapi itu ketakutan.
Tersenyum san Pangeran melihat ulah para petani itu, ada rasa kasihan di hatinya demi melihat kebun kacang tanah yang rusak binasa digasak para sapi. beliau  menyalahkan pemilik sapi-sapi itu yang tidak menjaganya, malah mengumbarnya sehingga merusak kebun kacang tanah itu. Lalu sang Pangeran turut  mengusir sapi-sapi itu dengan sekali suitan bubarlah sapi kembali ke kandangnya. Para petani kacang kagum melihat ada orang asing yang hanya bersuit saja sudah dapat menghalau sapi-sapi dan anehnya mereka pulang ke kandangnya. Lalu para petani itu mendekat berjongkok demi melihat pancaran wibawa sang Pangeran. Sang Pangeran bersabda :
“ Kakang petani semuanya, apakah sapi-sapi itu bukannya milik kalian semuanya ? kenapa diumbar saja, sebaiknya lain  kali dijaga saja. “
“ Aduh tuan kami semuanya merasa kesal dan marah pada sapi-sapi itu, kami semuanya bersepakat untuk tidak akan memelihara sapi lagi. Sudah seringkali sapi-sapi itu berulah, merusak kebun kami, sawah kami bahkan, hari ini sapi-sapi itu sudah keterlaluan, mereka memakan RENDENG-RENDENG muda dan merusak hampir separuh kebun kami.”
“ Lho, apa yang dimaksud rendeng itu ,kang?” tanya sang Pangeran.

“Itu lho tuan, daun kacang brol itu disebut RENDENG, kalua daun kacang panjang (kacang lanjaran) disebut lembayung.”
“Baiklah aku berpesan agar nama dusun itu disebut Dusun Rendeng saja dan orang-orang disini tidak diperkenankan untuk memelihara sapi.”
Demikian sabda Sang Pangeran diikuti oleh penduduk di sana dan sampai saat ini nama tersebut tetap Desa Rendeng tempat kelahiran Jenderal Ahmad Yani Pahlawan Revolusi.
Selanjutnya sang Pangeran meneruskan kembali perjalanannya kea rah utara. Sehingga akhirnya sampailah di sebuah tempat yang banyak terdapat pohon salam ( daun pohon salam  ini biasa dipakai untuk penyedap makanan , misalnya untuk membuat nasi uduk, apabila diberi daun salam akan terasa sedap, buahnya kecil-kecil bagaikan buah kopi,rasanya sepat, yang masih muda berwarna hijau dan yang sudah tua matang berwarna merah tua, kadang-kadang yang tua disukai anak-anak karena rasanya manis agak sepat). Sang Pangeran bertanya kepada penduduk nama tempat itu, ternyata belumlah diberi nama. Oleh beliau dipesankan agar nama tempat itu disebut Dusun Salam. Artinya dusun yang banyak ditumbuhi pohon salam, seperti halnya pohon dhadhap dan pohon waru, itu tanaman rakyat. Kadang-kadang suka dipakai nama orang “ Kang Dhadhap dan Kang Waru” sampai sekarang menjadi Desa Salam di wilayah Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.
Disinilah Pangeran Joyokesumo menyamarkan dirinya dengan nama Ki Bagus Salam. Demikian pula segala perhiasan yang menunjukkan kepangeranannya disembunyikannya, agar kalua berpapasan dengan orang-orang akan dianggap sebagai orang biasa saja.
Kemudian perjalannya dilanjutkan, sampailah disuatu tempat, disini beliau kebingungan karena di hadapannya ada beberapa bukit sehingga meragukan akan arah yang mana yang akan ditempuhnya itu. Kebetulan ada beberapa penduduk yang lewat di sana, oleh beliau dihentikannya dan ditanyai, arah mana yang benar bila akan menuju ke Kadipaten Singgelopuro. Orang-orang itu menunjuk ke arah yang benar, kebetulan ada gundukan batu dan tanah yang menyerupai bukit kecil.
“ Tuan dapat melanjutkan perjalanan tuan ke Kadipaten Singgelopuro kea rah sana dan sebagai pathokan atau pakem, dapat dipakai gundukan bukit kecil itu!” jawab penduduk sambal menunjuk kea rah utara. Sang Pangeran sangat berterima kasih , kemudian beliau berpesan kepada orang-orang itu agar tempat itu dinamai Dusun Pakem, sebagai patokan apabila akan bepergian kea rah utara, barat, selatan maupun timur. Mereka menyetujuinya  dan nama Desa pakem sampai sekarang tetap lestari. Dalam perjalannya dari daerah ini, mulai merambah bukit berbatu-batu, yang kian lama kian meninggi. Tentu saja badan beliau terasa letih dan pegal-pegal, penat badannya. Pada sebuah batu yang mencuat , sang Pangeran menaikinya sampai di ujung batu. Di sana beliau memandang ke kanan kiri dari kejauhan, ke arah selatan, panorama indah terbentang di hadapannya. Nyaman sekali , tak terasa sang Pangeran menggerak-gerakkan badannya / punggungnya mengusir kepenatan dengan cara meliuk-liukkan badan / punggungnya dan kakinya yang dalam Bahasa Jawa disebut dengan istilah DENGKENG. Mendengkeng-dengkengkan badan dan kakinya di atas batu.
Tiba-tiba terasa batu itu bergoyang-goyang, secara reflek telapak kakinya dicengkeramkan pada permukaan batu tersebut. Karena kesaktiannya, maka permukaan batu itu menjadi dekok sesuai bentuk telapak kakinya. Sampai saat ini masih terdapat bekas tapak cengkeraman kaki beliau. Kemudian sang Pangeran menemui beberapa orang penduduk dusun dan berpesan agar tempat  itu dinamakan ALAS SIDENGKENG.
Selanjutnya perjalanan diteruskan dan sampailah dia disebuah bukit, dari puncak bukit itu tampak  pemandangan yang asri, indah dan sari. Dalam Bahasa Jawa Kuna ( Kawi) pem  andangan itu  atau penampakan itu disebut MONGGANG, karena  indah (ASRI atau SARI) lalu digabung menjadi MONGGANGSARI. Kemudian berubah menjadi MUNGGANG SARI. Kalau dalam kamus Bahasa Jawa, kata monggang itu nama gendhing dan Munggang adalah nama gamelannya. Di gunung atau bukit Munggangsari, sang Pangeran atau KI Bagus Salam berhenti untuk beristirahat karena kelelahan, dalam Bahasa Jawa disebut LEREN. Kemudian  oleh sang Pangeran tempat itu dinamakan dusun SIDOLEREN artinya Jadi Berhenti. Sampai sekarang dusun itu menjadi nama Desa Sidoleren, termasuk Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.
Dari bukit ini Pangeran Jayakesuma atau Ki Bagus Salam  melemparkan tongkat kayu yang dipakai untuk membantunya menaiki  bukit, kea rah barat dalam Bahasa Jawa NYELORONGAKE dari kata kerja clorong. Dan tempat jatuhnya tongkat itu dinamakan Dusun Clorong, Desa Tlogosono, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.
Demikian  sampailah pada akhirnya Pangeran Jayakesuma di Kadipaten Singgelopuro. Sekarang  namanya menjadi Loano, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Untuk lebih jelasnya bacalah Buku Babad Banyuurip dan Babad Loano.
Di Kadipaten Singgelopuro Pangeran Jayakesuma berbuat  onar, sehingga dikeroyok oleh prajurit Singgelopuro, namun tidak terkalahkan.

Demikian pula Adipati Anden serta ayahandanya KI Buyut Singgelo tidak mampu menangkapnya. Akhirnya Ki Buyut Singgelo meminta bantuan ke Kuwu Ganggeng. Oleh Ki Kuwu Ganggeng di bawa ke Hargorojo menghadap Pangeran Semono, yang kemudian dikirimkan patihnya Ki Lowo Ijo guna menangkap Pangeran Jayakesuma alias Ki Bagus Salam.
Terjadilah pertempuran antara Ki Lowo Ijo dengan Pangeran Jayakesuma alias Ki Bagus Salam. Pertempuran dua orang yang sakti mandraguna, yang satu trah Bagelen dan yang satu Trah Majapahit. Pertempuran yang dimulai dari alun-alun Kadipaten Singgelopuro ( Loano) akhirnya sampai ke daerah Sidoleren itu.
Di sana Pangeran Jayakesuma menciptakan seekor gemak (puyuh) dari sepotong kayu kecil sedangkan Ki Lowoijo menciptakannya dari sebuah batu bulat. Kedua gemak itu diadu, ditonton juga oleh orang-orang sekitar tempat itu yang tidak mengerti bahwa itu adalah pertempuran batin yang hebat dari kedua kesatria tersebut. Pertempuran itu tidak ada yang kalah ataupun menang, sehingga keduanya sepakat untuk menghentikan pertarungan kedua gemak itu. Tempat keduanya sepakat untuk menghentikan adu puyuh itu, mereka sido leren ( SIDO LEREN = Jadi Berhenti) berada di bawah pohon beringin yang besar, disebut Beringin Krapyak di Desa Sidoleren.

Lalu keduanya melanjutkan pertempuran di lain tempat, sehingga akhirnya Pangeran Jayakesuma dapat ditngkap dalam kendi tanah yang dilobangnya ditutupi daun sirih. Kemudian di bawa ke Bagelen, untuk dihadapkan kepada Pangeran Semono dan Ki Buyut Singgelo. Namun diambil oleh Ki Kuwu Ganggeng kendinya  dan dipecah hingga Pangeran Jayakesuma dapat keluar. Selanjutnya terjadilah pertempuran antara Ki Kuwu Ganggeng dan Pangeran Jayakesuma keduanya tewas sampyuh. Baca Babad Banyuurip.
Berita tewasnya pangeran Jayakesuma pun sampai ke Banyuurip, jenazahnya dibawa ke Banyuurip dan disana dibakar sesuai dengan kebiasaan agama Hindu.
Berpuluh tahun kemudian Nyai Galuhwati atau disebut juga Raden Ayu Sekarwulan yaitu adinda Pangeran Jayakesuma yang menjadi istri dari Ki Manguyu, menghendaki napak tilas rakandanya dalam perjalanan ke Loano. Sampailah akhirnya di desa Sidoleren dan untuk beberapa waktu menetap di sana. Namun kemudian Nyi Raden Ayu Sekarwulan atau Nyi Dewi Galuhwati sakit sampai meninggal dunia. Kemudian saat itu agama Islam sudah menyebar dan kemungkinan pula Nyi Raden Ayu Sekarwulan itu sudah beralih agama menjadi Islam, maka jenazahnya tidaklah dibakar melainkan dimakamkan di dekat Masjid Al Fajar di Desa Sidoleren sampai saat ini. (Menurut cerita dan kepercayaan penduduk Desa Sidoleren begitulah kisah Nyi Dewi Galuhwati atau Raden Ayu Sekarwulan). Kemudian dikenal pula namanya sebagai Nyai Raden Ayu Kuwoso. Wallahu’alam bishowab.
Pendududk Desa Sidoleren berpenghasilan dari pertanian. Mereka bertanam sayur-sayuran dan palawija, terutama pisang. Pisang Sidoleren ini cukup banyak sehingga menjadi pemasok tetap bagi pasar buah-buahan yang ada di depan Toserba Jodo di Jalan KH.Ahmad Dahlan Purworejo.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH NAGA BATU SUMONG