KISAH NAGA BATU SUMONG
KISAH NAGA BATU SUMONG
(Curug Sido
Asri dan Batu Sumong)
Dusun
Munggangsari pada jaman dahulu masih berupa hutan belantara, masih banyak
hewan-hewan buas yang berkeliaran. Bahkan ada seekor binatang seperti komodo,
orang-orang menyebutnya naga. Sehingga karena angkernya seakan-akan janmo moro janmo mati. Artinya siapa
saja orang yang masuk tentu akan mati dimakan oleh penghuninya.
Di alas atau
hutan tersebut tumbuhlah serumpun pohon bamboo lumrah sebagaimana pohon bambu
pada umumnya. Tiada bedanya dengan bambu-bambu yang suka dipakai orang untuk
keperluan dan kerajinan. Namun pada jaman dahulu ada keanehan pada rumpun bambu
itu. Kata orang-orang tua dahulu, ada beberapa orang penduduk Sidoleren yang
akan menebang beberapa bambu guna dipergunakan membuat peralatan rumah tangga.
Dengan beramai-rama mereka menebang bambu-bambu itu dengan parang.
Batang-batang bambu yang telah itupun rubuhlah. Setelah cukup banyak batang
bamboo yang mereka tebang , lalu mereka beristirahat sejenank untuk melinting
rokok. Namun saat sedang asyiknya mereka melinting dan mengisap rokok buatannya,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang riuh dari arah rumpun bamboo tadi.
Serentak mereka menengok kea rah suara, tampaklah pemandangan yang menakjubkan.
Ternyata batang-batang bamboo yang baru saja mereka tebang sudah tegak kembali,
seolah tidak pernah ditebang orang.
Segera
orang-orang itu memburu ke tempat rumpun bamboo tersebut, memang benar batang
bamboo-bambu itu telah kembali tegak seperti semula.
Karena masih
ragu, sekali lagi mereka tebangi batang –batang bamboo itu. Setelah roboh lalu
mereka tinggalkan dan setelah beberapa jauh mereka kembali menengok kea rah
rumpun itu, tiba-tiba terdengar kembali suara riuh dan batang-batang bamboo
yang sudah roboh mereka tebang, dapat bangkit kembali seperti semula.
Hal itu
membangkitkan rasa takut kepada orang-orang desa tersebut. Mereka tidak berani
untuk menebang kembali batang-batang bamboo yang berada di rumpun bamboo
tersebut. Kemudian mereka menamakan rumpun bamboo itu dengan sebutan Kyai
Dhandhang Aring, karena kebetulan saat itu mereka mendengar suara
burung gagak yang seolah-olah senang, menyertai bangkitnya batang-batang bamboo
itu. Dhandhang
= gagak dana aring = senang. Sampai saat ini rumpun bamboo itu masih
ada. Namun tentu saja sudah tidak ajaib lagi.
Desa
Sidoleren ini seolah dibelah menjadi dua oleh sebuah sungai (kali) yang
membelahnya yaitu Kali Winong. Disebelah atas di bukit Monggangsari, kali
Winong itu berasal dan disana terdapat kali kecil yang disebut orang kali
Tempursari. Kedua kali itu bertemu dan bersatu , dalam Bahasa Jawa disebut
Tempuran. Sehingga dusun itu dinamai Dusun Tempuran.
Sebelah
selatan sedikit, kali Winong itu menurun karena turun dari bukit yang tinggi
kira-kira 25 meteran, sehingga membentuk air terjun yang indah dan asri.
Orang-orang menyebutnya air terjun atau Curug Sido Asri. Pantas menjadi
tempat wisata orang-orang yang merindukan keindahan alam ciptaan Allah SWT.
Kata orang,
curug itu dahulunya sering dipakai bertapa oleh seseorang yang bernama Ki Sumorejo, sehingga disebut
juga Curug Lanang, karena istrinya Nyi Sumorejo bertapa dan mandinya dicurug
lain yang juga ada disekitar situ yang disebut Curug Wedok.
Dari arah
sebelah barat terdapat sebuah bukit yang menjulang tinggi, yang ternyata ada
bongkahan batu besar tingginya 25 meter dan kelilingnya kurang lebih 110 meter.
Tegak menjulang tinggi, dapat dipakai untuk mereka yang senang mendaki gunung
dan memanjat tebing. Orang menamakannya BATU SUMONG. Ada ceritanya tentang batu
Sumong ini yang cukup menarik dan juga agak seram.
Komentar
Posting Komentar