LEGENDA BATU SUMONG

          Pada zaman dahulu  hiduplah pasangan suami isteri, Ki Sumorejo dan Nyi Sumorejo. Pasangan petani dan juga tokoh  masyarakat tersebut memiliki dua orang anak. Si sulung bernama Ganang  yang  berusia 3 tahun. Sedangkan adiknya masih berumur beberapa bulan. Sehari-hari keluarga ini banyak beraktivitas di huma atau sawah  tadah hujan  kepunyaan mereka yang cukup luas.
        Suatu hari, seperti biasa mereka pergi ke huma. Ki Sumorejo berangkat lebih dahulu  membawa sapinya untuk membajak sawah. Begitu  sampai, Ki Sumorejo menambatkan sapinya  pada tonggak  yang terpancang di depan sebuah batu besar. Kemudian dia bersemedi di sekitar lokasi batu itu dan setelah beberapa saat berselang, barulah dia  mulai bekerja. Sedangkan Nyi Sumorejo menyusul, datang belakangan.  Dia mengendong anak bungsunya, sementara  tangan kirinya menuntun si Ganang dan tangan kanannya menenteng bekal makanan. Ketika tiba, Nyi Sumorejo pun menuju ke tempat     bongkahan batu besar lain yang jaraknya agak jauh dari batu dimana Ki Sumorejo menambatkan sapi. Dia membuat ayunan bayi di dekat  batu yang di bawahnya terdapat lobang goa.  Setelah meletakkan si bungsu dalam ayunan  dan menyuruh si Ganang  menjaganya   sambil bermain-main di sekitar  tempat  ayunan itu berada, Nyi Sumorejo  bergegas    ke sawah.  Lalu dia matun atau  membersikan rumpun-rumpun padi dari  rumput-rumput liar.
      Hari beranjak semakin siang. Ketika sedang  asyik-asyiknya bekerja, tiba-tiba Nyi Somorejo mendengar Si Ganang berteriak  dengan  suara cadelnya , “Mbook…ono adang owoo mbook!” (maksudnya : Mbok… ada kadal panjang).  Tak lain karena Ganang  memang melihat seekor binatang yang menyerupai kadal besar yang panjang dan menakutkan.  Berhubung  suara teriakan Ganang yang  cadel, ditambah lagi posisi dirinya yang sudah agak jauh dari tempat si Ganang, Nyi Sumorejo jadi  salah paham. Dia mengira  kalau Ganang, ”Mbook…..wadange digowo mbook?” (Mbok…nasinya dibawa ya mbok) Maka tanpa menoleh dan masih terus bekerja, Nyi Sumorejo menyahut, ”Iyooo, kono dipangan wae!” (Iya sana dimakan saja). Tak lama kemudian kembali Ganang berteriak  lebih keras disertai tangisan. “Mbook… adikku diowo adang owoombook!” ( Mbok… adikku dibawa kadal panjang huuuhuuuhuu…). Ganang  terus saja menjerit  dengan tangannya yang menunjuk-nunjuk.
       
Jeritan si Ganang yang semakin keras dan menyayat hati membuat Nyi Sumorejo tersentak.  Dia  segera  meninggalkan pekerjaanya dan langsung menghampiri si Ganang. Betapa terkejutnya Nyi Sumorejo saat mendapati ayunan bayi dimana dia meletakan anak bungsunya sudah  rusak porak-poranda. Nyi Sumorejo menjadi histeris manakala dia  melihat ke arah yang ditunjuk-tunjuk  oleh Ganang. Ternyata bayinya  telah berada di dalam mulut seekor kadal panjang  dan  dari luar  hanya tinggal terlihat kedua kakinya saja. Serta merta Nyi Sumorejo berusaha sekuat  tenaga menyelamatkan  bayinya yang dilahap kadal panjang itu. Maka terjadilah perebutan bayi dengan  tarik – menarik yang sangat alot. Mulut  si kadal panjang begitu erat mencengkeram kepala dan tubuh bayi Nyi Sumorejo. Sebaliknya Nyi Sumorejo sebisa mungkin menarik kaki bayinya supaya keluar seluruh tubuh si bayi  dari mulut  kadal panjang. Namun apa daya, kekuatan Nyi Sumorejo tak sebanding dengan tenaga si kadal panjang. Dia jatuh terjengkang  dan  harus menerima kenyataan bayinya  hilang dibawa  si kadal panjang masuk ke lobang goa di bawah batu besar itu.
       Tinggallah  Nyi Sumorejo dan Ganang  meratap tiada henti, hingga akhirnya mengundang perhatian Ki  Sumorejo juga  warga  desa lainnya.   Berbondong-bondong  mereka  datang  dan segera  mengerumuni Nyi Sumorejo. Begitu  mendengar penuturan Nyi Sumorejo  tentang peristiwa tragis yang baru saja terjadi,  semua orang dilanda ketakutan. Apalagi setelah beberapa orang  memberikan kesaksian  bahwa hewan ternak peliharaan mereka, seperti kambing, ayam  dan sejenisnya seringkali  lenyap tak tentu rimbanya  jika hewan-hewan  tersebut  digembalakan di  dekat  batu bergoa itu.  Mereka  pun yakin si kadal panjang yang  melahap  bayi  Nyi Sumorejo itu  sesungguhnya adalah ular naga penunggu   goa batu tersebut dan  biang keladi dari setiap peristiwa kehilangan ternak yang mereka alami. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain bersikap lebih berhati-hati  dan tidak mencoba-coba lagi mendekati  mulut goa.
       Demikian pula halnya dengan Ki Sumorejo. Dia dan seluruh keluarganya dirundung kesedihan mendalam. Terlebih-lebih bagi  Nyi Sumorejo sebagai ibu yang menyaksikan  secara langsung  bayinya  direnggut paksa oleh sang naga.  Namun malam harinya Nyi Somorejo mendapat isyarat melalui mimpi. Dalam mimpinya dia datangi oleh orang  tua berjanggut panjang. Orang tua itu berpesan agar  Nyi Sumorejo mengikhlaskan  bayinya  untuk dirawat dan diasuh  dalam goa batu tempat  dirinya berebut bayi dengan sang naga. Sejak  saat itulah batu tersebut dikenal dengan nama batu “Sumong” yang artinya batu tempat untuk nyusoni karo momong (menyusui dan mengasuh) anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BABAD SIDOLEREN

KISAH NAGA BATU SUMONG